Wednesday, December 3, 2008

Potensi AgroSilvoPastural di Hutan Jati dan Permasalahannya

Ketika kita mendengar kata hutan, maka yang ada dalam benak kita adalah pepohonan yang rimbun, hijau, udara sejuk, semilir angin sepoi-sepoi, kicau burung yang merdu serta suara gemericik air sungai.

Gambar 1. Hutan rimba yang hijau dan subur (foto : Gunung Sawal Ciamis, Jawa Barat)

Tapi, coba anda bayangkan, apa yang ada dalam benak anda jika mendengar kata hutan jati. Ya, tentu saja pasti ada pepohonan jati yang besar-besar, gersang, perkampungan yang miskin, banyak ternak (sapi dan kambing). Ciri khas perkampungan sekitar hutan jati di daerah Jawa Tengah adalah budaya berternak. Hampir di setiap rumah memiliki ternak baik sapi maupun kambing. Dan satu lagi budaya berternak masyarakat tersebut adalah menggembala ke dalam hutan. Melimpahnya pakan ternak di dalam hutan telah meninabobokan masyarakat untuk melepas ternaknya ke dalam hutan. Padahal jika kita bandingkan dengan budaya berternak masyakat sekitar hutan di daerah Jawa Barat, mereka mengandangkan ternaknya dan pemilik ternak yang mengambil rumput ke dalam hutan atau ladang maupun sawah.

Perbedaan Sistem berternak di masyarakat sekitar hutan :

A. Sistem Menggembala
1. Kesehatan rumah dan keluarga rendah*
2. Pemilik tidak bisa melakukan aktivitas produktif lainnya karena harus menggiring ternak terus menerus
3. Kotoran ternak menjadi polusi di mana-mana



B. Sistem dikandangkan
1. Kesehatan rumah dan keluarga terjaga
2. Pemilik bisa melakukan aktivitas produktif lainnya (bertani, rutinitas lainnya)
3. Kotoran ternak tersentral sehingga dapat dimanfaatkan untuk pupuk kandang atau biogas

Pada sistem menggembala, produktivitas masyarakat terbatas karena dari pagi sampai sore mereka bekerja hanya menggiring ternak ke dalam hutan agar ternak tidak merusak tanaman kehutanan. Ketika ternak sudah kenyang, baru ternak digiring ke kampung. Sehingga potensi untuk menambah pendapatan keluarga sangat terbatas.



Gambar 2. Ternak sapi yang sedang merumput di dalam hutan (foto : KPH Kebonharjo)

Bandingkan dengan sistem ternak yang dikandangkan. Peternak mencari rumput hanya dua kali sehari yakni pagi dan sore hari, sisa sepanjang harinya bisa diisi dengan bercocok tanam, berdagang atau yang lainnya. Atau apabila dia pergi berladang ke hutan atau ke kebun, pulangnya bisa sekalian membawa rumput atau hijauan makanan ternak. Nah, dengan demikian kesempatan untuk menambah pendapatan keluarga meningkat, karena aktivitas hariannya tidak terikat oleh menggembala ternak ke hutan.


Gambar 3. Seorang peternak pulang dari hutan dengan membawa rumput untuk ternaknya di rumah

Dilihat dari sisi sanitasi lingkungan, sistem penggembalaan telah mengakibatkan kotoran ternak berserakan di mana-mana di sepanjang jalur yang dilalui ternak. Hal ini mengakibatkan polusi, baik yang berasal dari bau maupun keberadaan kotoran ternak yang tidak enak dipandang mata, dan pemanfaatan kotoran ternak tersebut minim sekali karena tidak tersentral. Selain itu, budaya masyarakat Jawa adalah memasukkan ternak bersama-sama ke dalam rumah atau menyimpannya di depan rumah. Hal ini dilakukan karena ternak terutama sapi adalah harta yang berharga, sehingga untuk mengamankan dari pencurian, ternak dimasukkan ke dalam rumah. Bisa anda bayangkan, bagaimana sanitasi rumah yang di dalamnya terdapat ternak tinggal bersama-sama. Jadi, sanitasi keluarga dan orang yang mendiami rumah tersebut rendah sekali.

Coba anda bandingkan dengan sistem dikandangkan. Karena ternak berada dalam kandang dan tersentral, maka kotoran ternak akan tersentral sehingga tidak menimbulkan polusi di mana-mana. Selain itu, karena tempatnya tersentral, maka pemanfaatannya akan lebih mudah. Setelah kandang dibersihkan, kotoran tersebut bisa dimanfaatkan sebagai pupuk kandang untuk memupuk tanaman pertanian atau bahkan bisa dijadikan sebagai bahan bakar alternatif yaitu biogas. Dengan teknologi yang sederhana, maka limbah kotoran ternak diubah menjadi sumber energi, sehingga akan membantu masyarakat dalam pemenuhan energi yang saat ini sedang terjadi krisis energi.

Dampak negatif lain dari sistem menggembala adalah kerusakan tanah dan tumbuhan di dalam hutan. Aktivitas ternak yang jumlahnya ratusan dan dengan intensitas rutin setiap hari masuk hutan, pagi masuk hutan dan sore keluar dari hutan mengakibatkan terjadinya pemadatan tanah. Tanah yang padat mengakibatkan pori-pori tanah menjadi tertutup sehingga tanah tidak porous lagi dan akhirnya kemampuan tanah dalam menyerapkan air hujan menjadi kecil. Sedikitnya air yang mampu diserap tanah mempengaruhi persediaan air dalam tanah yang dibutuhkan oleh tanaman, sehingga mengganggu proses pertumbuhan tanaman. Selain itu, sedikitnya air tanah akan mengganggu keberadaan sumber air tanah sehingga berpotensi pada lokasi-lokasi penggembalaan akan mengalami kekeringan sumber air.

Sebaliknya pada musim hujan, oleh karena tanah tidak bisa meresapkan air, maka air hujan yang jatuh akan diubah menjadi aliran permukaan dalam jumlah yang banyak. Tingginya aliran permukaan menyebabkan tingginya debit sungai sesaat pada waktu hujan dan berpotensi banjir.

Disamping itu, seringnya ternak mondar-mandir keluar masuk hutan berpotensi pada kerusakan tanaman kehutanan, terutama tanaman yang baru ditanam atau tanaman muda. Sebagai contoh gambar berikut sebagai dampak penggembalaan yang terus menerus dan dalam jumlah yang banyak. Nampak pada gambar, tanah di sekitar tanaman jati terjadi pemadatan, yang mampu tumbuh adalah jenis rumput yang biasa tumbuh di lapangan sepak bola. Karena tanahnya tidak gembur serta daunnya dimakan oleh ternak, maka pertumbuhan jati menjadi terhambat.

Gambar 4. Tanaman jati tumbuh kerdil akibat penggembalaan hebat di lokasi tersebut (Foto : KPH Randublatung)

Sebagai jalan tengah untuk mengatasi permasalahan penggembalaan adalah merubah sistem menggembala menjadi sistem dikandangkan. Untuk memenuhi kebutuhan hijauan makanan ternak, pengelola hutan jati bisa berkolaborasi dengan masyarakat peternak dengan menanam hijauan makanan ternak pada lokasi tumpangsari atau di sepanjang pinggir jalan atau di sepanjang sempadan sungai dan selokan. Beberapa jenis HMT yang bisa ditanam adalah rumput gajah (Setaria sp.), kemlandingan maupun rumput vetiver.

Sistem penanamannya adalah berupa strip yang diletakan di antara tanaman pokok kehutanan sebagai tanaman sela atau antara tanaman pertanian. Selain berfungsi sebagai sumber hijauan makanan ternak, rumput gajah maupun vetiver berfungsi sebagai tanaman konservasi/penguat teras sekaligus, terlebih lagi jika pola tanamnya pada tepi-tepi teras atau untuk melindungi daerah yang tererosi.

Gambar 5. Strip tanaman rumput gajah yang ditanam pesanggem pada lokasi tumpangsari

Pada gambar di atas nampak tanaman rumput gajah ditanam dengan pola strip dan berfungsi sebagai pelindung teras yang tererosi. Tanaman rumput gajah dan vetiver yang ditanam di sepanjang sempadan sungai berfungsi ganda dalam upaya perlindungan tanah dan air sempadan sungai. Meskipun bagian atas tanaman tersebut dipangkas untuk hijauan makanan ternak, akan tetapi akarnya masih berfungsi dalam menahan tanah dari erosi. Lagipula karakteristik rumput adalah cepat tumbuh lagi setelah dipangkas.

Jadi, dengan penanaman rumput gajah dan vetiver dapat membantu masalah penggembalaan di dalam hutan sekaligus sebagai upaya konservasi tanah dan air. Masyarakat masih bisa memelihara ternak tanpa merusak hutan, sanitasi lingkungan dan rumah terjaga serta produktivitas masyarakat meningkat sehingga kesejahteraan masyarakat bisa ditingkatkan.

(bahan buat buletin nih...he he)

No comments: