Tuesday, September 16, 2008

Dampak Kebakaran pada Hutan Jati

Oleh : Laela Qodariah


Kebakaran yang terjadi pada hutan jati sekilas bukanlah hal yang menarik untuk dibahas jika kita bandingkan dengan topik kebakaran yang terjadi di Sumatera atau Kalimantan yang jangkauan dampaknya sampai negara tetangga. Belum banyak penelitian yang dilakukan tentang dampak kebakaran pada hutan jati. Akan tetapi tidak salah jika kita coba kupas tentang dampak kebakaran pada hutan jati terutama yang terjadi di pulau Jawa, dimana Jawa adalah pulau terpadat di negeri ini.

Gambar 1. Petugas pengendali kebakaran hutan sedang memadamkan kebakaran lantai hutan di hutan jati

Kebakaran hutan pada hutan jati biasanya terjadi sepanjang musim kemarau setiap tahunnya (Juni-Oktober). Pada bulan-bulan tersebut potensi bahan bakar sangat melimpah terutama yang berasal dari serasah daun jati, sebab pada bulan-bulan tersebut hutan jati menggugurkan daunnya untuk mengurangi evapotranspirasi. Perlu diingat jati adalah vegetasi pada hutan musim menggugurkan daun (hutan muson).

Selain itu, dengan hilangnya kanopi pada tegakan maka mengakibatkan tumbuhan bawah pada lantai hutan semakin terbatas bahkan untuk jenis-jenis tertentu (misalnya ilalang dan kirinyuh) kering dan mati sehingga menambah potensi bahan bakar.

A. Dampak terhadap Tanah

Kebakaran yang terjadi pada hutan jati memiliki dampak negatif pada aspek fisik, kimia maupun biologi tanah.

1. Dampak terhadap fisik tanah

Dampak kebakaran pada sifat fisik tanah adalah meningkatkan berat jenis (bulk density) tanah sehingga menurunkan porositas tanah. Dengan terbakarnya lapisan permukaan tanah, maka suhu tanah menjadi meningkat dan kelembaban tanah menjadi menurun sehingga kandungan air/kadar air dalam tanah menjadi menurun dan kerapatan tanah meningkat. Dengan menurunnya kadar air bahkan sampai hilang mengakibatkan rongga udara dan rongga air dalam tubuh tanah menjadi kosong sehingga berat jenis tanah menjadi meningkat. Semakin tinggi berat jenis tanah maka semakin rendah porositas tanahnya (Total porositas = [1- Berat jenis tanah/kerapatan partikel] x 100%). Semakin rendah porositas tanah maka semakin rendah kemampuan tanah dalam mengikat dan menyimpan serta mengeluarkan air yang dibutuhkan oleh tanaman terutama pada awal musim hujan. Porositas tanah mineral normalnya berada pada kisaran 30-60%. Sehingga ketersediaan air yang notabene adalah pelarut unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman berkurang dan akan menghambat pertumbuhan tanaman yang berada di atasnya.

2. Dampak terhadap kimia tanah

Dengan terbakarnya tumbuhan bawah dan serasah pada lantai hutan serta humus pada lapisan top soil maka mengakibatkan berkurangnya/hilangnya bahan organic tanah. Dengan berkurangnya bahan organic tanah maka akan mempengaruhi terhadap ketersediaan unsure hara terutama karena bahan organic sebagai pengikat air dan mengakibatkan menurunnya tingkat kesuburan tanah. Selain itu Lutz dan Chandler (1951) menyebutkan bahwa penurunan kandungan bahan organik tanah sebesar 2% akan menurunkan kapasitas tanah mengikat air sebesar 20%.

Meskipun ada bebebapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa setelah terbakar kadar abu di permukaan tanah akan meningkat dan artinya menambah unsure hara, akan tetapi hal tersebut hanya bersifat sementara saja. Sesaat setelah musim hujan turun, abu yang ada di atas permukaan tanah akan terbawa hanyut oleh aliran permukaan pada saat terjadi hujan sebagai akibat tidak adanya tumbuhan bawah dan serasah yang menghambat aliran permukaan. Dengan demikian dalam jangka waktu yang lama justeru akan meningkatkan kehilangan tanah dan akhirnya kesuburan tanah menurun dan produktivitas tanah rendah.

3. Dampak terhadap biologi tanah

Keberadaan biologi/makrofauna tanah sangat berperan dalam proses yang terjadi dalam tanah diantaranya proses dekomposisi, aliran karbon, bioturbasi, siklus unsur hara dan agregasi tanah. Dengan terbakarnya permukaan tanah maka berdampak pada matinya makrofauna tanah bahkan bukan hanya fauna yang hidup pada permukaan tanah namun juga pada fauna yang berada pada lapisan tanah. Dengan meningkatnya suhu akibat api maka fauna-fauna dalam tanah akan hilang/mati. Sehingga proses dekomposisi, aliran karbon, bioturbasi, siklus unsure hara dan agregasi tanah menjadi terhambat yang akhirnya mengurangi ketersediaan unsure hara yang selanjutnya mengganggu pertumbuhan tanaman.

B. Dampak terhadap Udara

Kebakaran hutan secara langsung menimbulkan dampak negative terhadap udara, yaitu berupa asap dan peningkatan suhu udara. Asap yang ditimbulkan berupa CO2 akan menjadi polutan baik bagi lapisan ozon (efek rumah kaca) maupun bagi mahluk hidup terutama manusia. Selain CO2 juga ikut polutan yang lainnya. Sehingga menyebabkan polusi udara yang mengganggu pernafasan, timbulah penyakit saluran pernafasan atas (ISPA).

Selain itu, adanya kepulan asap di udara akan mengganggu jarak pandang baik di darat (pengguna jalan), maupun di udara sehingga mengganggu aktivitas transportasi udara. Minimnya jarak pandang akan membahayakan transportasi udara.

C. Dampak terhadap Biologi

Kebakaran hutan secara langsung menimbulkan dampak pada rusaknya bahkan hilangnya vegetasi/tanaman yang berada di atas permukaan tanah. Kebakaran lantai hutan mengakibatkan tanaman jati yang berusia muda KU 1 (umur 1-10 tahun) kering dan mati. Namun bagi tanaman jati yang usianya di atas 20 tahun berdasarkan hasil pemantauan mampu bertahan hidup. Biasanya setelah terbakar dia kering, namun setelah musim hujan tanaman tersebut hidup lagi. Lain lagi bagi tanaman mahoni atau rimba yang lainnya yang tidak tahan terhadap api meskipun tipenya kebakaran lantai hutan, pada umumnya bisa menimbulkan kematian tanaman tersebut baik yang berumur muda maupun sudah tua. Belum lagi jika tipe kebakarannya sampai tajuk.

Selain mengakibatkan kerusakan dan atau kematian pada tanaman kehutanan, kebakaran mengakibatkan hilangnya/rusaknya/matinya tumbuhan bawah, perdu dan semak belukar yang beraneka ragam yang merupakan habitat dan sumber pakan aneka satwa/fauna.

Kebakaran hutan juga mengakibatkan hilangnya/musnahnya satwa/fauna yang hidup di hutan tersebut. Dengan adanya kebakaran, bagi satwa-satwa yang mempunyai kemampuan jelajah yang tinggi mereka biasanya berusaha untuk menyelamatkan diri (terbang/lari) dengan berpindah ke lokasi lain yang tidak terbakar. Namun bagi satwa-satwa yang kemampuan berpindahnya rendah biasanya akan hangus terbakar. Kebakaran hutan mengakibatkan rusaknya habitat satwa (sarang), hilangnya sumber pakan satwa serta berkurangnya wilayah jelajah satwa tersebut.

D. Dampak terhadap Sosial

Kebakaran di hutan jati memiliki dampak social yang tidak kecil, terutama dampak bagi masyarakat desa sekitar hutan. Masyarakat desa sekitar hutan masih memiliki ketergantungan terhadap hutan yang tinggi yang terdiri dari perencekan kayu bakar, jasa air, daun jati, hijauan makanan ternak (HMT), pemanfaatan tunggak jati baik untuk kayu bakar ataupun untuk kerajinan (handycraft) dan penggarapan lahan baik pada lokasi tumpangsari maupun di bawah tegakan (PLDT).

Gambar 2 Budaya menggembala sapi ke dalam hutan yang dilakukan oleh masyarakat desa sekitar hutan

Dampak negative yang paling dirasakan adalah bagi MDH yang memiliki ternak. Masyarakat desa sekitar hutan jati memiliki budaya menggembala ternak ke dalam hutan. Pada musim kemarau tumbuhan bawah yang menjadi pakan ternak mulai kering dan jarang dijumpai. Ditambah lagi dengan terjadinya kebakaran maka pakan ternak menghilang, sehingga penggembala akan sulit mencari pakan bagi ternaknya. Harus ada cost lebih baik berupa waktu maupun tenaga dalam mencari pakan ternak (lokasinya semakin jauh). Dengan berkurangnya pakan ternak, maka produktifitas dari ternak tersebut pun menurun dan produktifitas dari masyarakatnya pun berkurang.

Selain kesulitan dalam mencari pakan ternak, kebakaran juga mengurangi produktivitas masyarakat dalam memanfaatkan lahan di bawah tegakan. Sehingga berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat. Pada musim kemarau serta didukung oleh berkurangnya produktivitas tanah akibat kebakaran, pesanggem semakin terbatas dalam pemilihan komoditas tanamannya. Hanya jenis-jenis tertentu saja yang dapat ditanam bahkan sebagian besar pesanggem lebih memilih memberakan tanah/rehat menggarap lahan pada musim kemarau, sebab pendapatan yang diperoleh tidak seimbang dengan biaya yang dikeluarkan.

Disamping itu, kerugian secara ekonomi secara langsung dirasakan oleh pengelola hutan jati, akibat matinya/rusaknya tanaman jati yang masih muda sehingga perlu mengganti tanamannya dengan yang baru (anggaran pembuatan tanaman menjadi dobel) atau mengkayakan tegakan yang mati. Pendapatan pengelola menjadi berkurang dengan hilangnya beberapa tahun yang jika diproyeksikan ke tahun-tahun berikutnya seharusnya sudah berproduksi sehingga mempengaruhi kelestarian hasil dan kelestarian financial perusahaan.

Dampak lainnya yang dirasakan adalah kesulitan dalam mencari air bersih. Sebagai akibat dampak terhadap fisik tanah yang tersebut di atas menyebabkan terganggunya fungsi tanah dalam menyerap dan menyimpan air hujan, sehingga ketersediaan air tanah pada musim kemarau terganggu. Akibatnya masyarakat desa sekitar hutan yang sangat mengandalkan air bersih dari hutan menjadi kesulitan mendapatkan air bersih. Meskipun masalah kekurangan air bersih memiliki factor penyebab yang kompleks namun salah satu penyebabnya adalah akibat kebakaran hutan pada hutan jati.

Gambar 3 Pemberian bantuan air bersih dari KPH Randublatung kepada masyarakat sekitar desa hutan pada musim kemarau

Dengan demikian kebakaran hutan pada hutan jati memiliki dampak negatif yang tidak kecil. Sekarang tinggal bagaimana upaya pengelola hutan jati dan pemerintah untuk mengendalikan kebakaran tersebut dengan memberdayakan masyarakat desa sekitar hutan dengan menerapkan sistem pengendalian kebakaran hutan berbasis masyarakat.


No comments: